Cita-Cita Saya Apa?
Sewaktu saya kecil, arti cita-cita
yang saya tau ialah
“Ketika sudah besar nanti kita ingin
menjadi apa”
tanpa saya tau maksud dari kalimat tersebut
itu apa. Ingat sekali waktu saya berusia mungkin sekitar 5—6 tahun, saya
bercita-cita menjadi seorang Bidadari. Iyaaa,
BI-DA-DA-RI
karena waktu itu saya masih sangat
lugu untuk mengetahui Bidadari bukanlah sebuah cita-cita melainkan karakter
sinetron favorit saya saat itu. Alasan saya ingin mejadi Bidadari saat itu,
selain memiliki sayap yang bisa mencapai ke negri awan, ia juga memiliki
karakter yang seketika muncul untuk membantu orang yang lemah, setelah itu
kembali ke negri awan.
Lambat laun, semakin bertambahnya
usia. Saya pun sedikit paham mengenai makna dari arti kata ‘cita-cita’. Dimulai
dari tingkat SD yang sering sekali terdapat pertanyaan mengenai cita-cita, dan
saya pun juga sering sekali menjawabnya dengan profesi yang umum saja yaitu
Dokter atau Guru. Hingga ke tingkat SMP, cita-cita saya terkadang suka
berubah-ubah dari ingin menjadi orang yang sukses, wirausaha, reporter, ataupun
penyanyi, meskipun saya hanya menyukai menyanyi tanpa tahu nada-nada yang benar
seperti apa. Sampai saya kembali mengakui bahwa
cita-cita saya adalah ingin menjadi
seorang Guru.
XXX
Saat itu, masa peralihan antara
tingkat SMP menjuju tingkat Sekolah Menengah terdapat sedikit keraguan. Bisakah
saya yakin melanjutkannya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Sekolah
Menengah Atas (SMA), dimana semua kakak-kakak saya melanjutkan sekolahnya di
SMK dengan bidang akuntansi. Saya juga merasa tertarik dengan akuntansi saat
itu, karena prospek kerjanya yang sering dibutuhkan, ditambah kakak-kakak saya
yang dapat membantu saya jika ada kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah nantinya
(pikir licik saya). Namun, takdir sudah menentukan bahwa saya tidak di
terima di SMK melainkan di terima di SMA jurusan IPA.
Hal itu tidaklah buruk, karena saya
pun lebih menyukai pelajaran IPA dibandingkan IPS, meskipun hafalan saya juga
tidak terlalu buruk. Dari sinilah, tanpa sadar saya sudah mempunyai
bakat terpendam untuk menjadi seorang
Guru.
Misalnya, ketika teman-teman di SMA
meminta diajarkan oleh saya mengenai pembahasan soal yang mereka anggap sulit,
saya pun dengan semangat dan rasa senang hati untuk mengajarkannya ke mereka.
Mereka pun memberikan imbalan tiba-tiba dengan mentraktir saya jajan,
alhamdulillah uang jajan saya tidak berkurang.
XXX
Waktu demi waktu saya lalui, hingga
saya menentukan pilihan saya dengan sungguh-sungguh karena saya sadar sudah
waktunya saya bersikap dewasa dan menentukan masa depan saya. Dengan pilihan
yang diridhai orang tua disertai dengan usaha dan doa yang saya panjatkan
dengan sungguh-sungguh, akhirnya pilihan saya jatuh pada…
Jurusan Pendidikan Kimia Universitas
Negeri Jakarta
yang saat itu saya diterima pilihan 1
melalui jalur SBMPTN.
Saya harap, dengan takdir yang
ditentukan oleh-Nya ini saya bisa memulainya dengan mencoba melakukan yang
terbaik, meskipun tanpa tahu hasil akhirnya nanti apakah saya benar-benar akan
menjadi seorang Guru atau hal-hal yang terbaik lain dari-Nya.
Jika takdir membawa saya menjadi
seorang Guru, saya ingin menjadi Guru yang tidak hanya menjelaskan materi
belajar saja melainkan diselingi sedikit dengan pemberian motivasi kehidupan. Hal
ini karena saya ingin membentuk kepribadian baik siswa karena mereka merupakan generasi
penerus bangsa. Sehingga, langkah menjadi seorang Guru merupakan kesempatan
saya untuk mewujudkan hal tersebut. Sebenarnya, saya turut prihatin dan sedih
ketika saya berangkat ke kampus, saya masih melihat siswa-siswa berseragam
putih abu-abu yang pada jam pelajaran malah asyik bersama teman-temannya di
warung ditemani segelas kopi & sebatang ro*ok. Ditambah lagi masih adanya,
siswa-siswa seragam putih abu-abu yang terlibat tawuran ataupun demonstrasi
yang menurut saya itu tidak adanya keren-kerennya sama sekali. Salah satu
alasan kuat tersebut yang membuat saya bercita-cita menjadi seorang Guru. Alasan lainnya mungkin sudah tergambarkan sebelumnya, dari mulai bakat terpendam dan perasaan senang yang saya miliki ketika mengajarkan teman-teman, mendapatkan ridha dari orang tua, hingga ingin menciptakan generasi penerus bangsa yang membanggakan. Jadi, jika ada yang bertanya kepada saya "Apa Cita-Citamu?", saya tidak akan bertanya kembali ke diri saya "Cita-Cita Saya Apa?" melainkan saya akan menjawabnya dengan "Cita-Cita saya adalah Guru". Iya Guru, bukan Bidadari.
Guru
merupakan suri tauladan bagi murid-muridnya.
Guru
membuat kita belajar akan banyak hal dari yang tidak kita ketahui sebelumnya.
Guru
rela lelah asal murid-muridnya berusaha belajar tuk mencapai impiannya.
Guru
pula yang mengenalkan kita tuk membuka jendela dunia.
“Di belahan bumi bagian sana sangat
indah, saking indahnya kita harus membutuhkan ilmu untuk melihatnya. Kejarlah
cita-citamu setinggi mungkin hingga kau bisa melihat keindahan yang telah
diciptakan-Nya untukmu. Semangat berproses!” -Nurul Agustin
Komentar
Posting Komentar