Cita-Cita Saya Apa?
(By Nurul Agustin)

Sewaktu saya kecil, arti cita-cita yang saya tau ialah
“Ketika sudah besar nanti kita ingin menjadi apa”
tanpa saya tau maksud dari kalimat tersebut itu apa. Ingat sekali waktu saya berusia mungkin sekitar 5—6 tahun, saya bercita-cita menjadi seorang Bidadari. Iyaaa,
BI-DA-DA-RI
karena waktu itu saya masih sangat lugu untuk mengetahui Bidadari bukanlah sebuah cita-cita melainkan karakter sinetron favorit saya saat itu. Alasan saya ingin mejadi Bidadari saat itu, selain memiliki sayap yang bisa mencapai ke negri awan, ia juga memiliki karakter yang seketika muncul untuk membantu orang yang lemah, setelah itu kembali ke negri awan.
Lambat laun, semakin bertambahnya usia. Saya pun sedikit paham mengenai makna dari arti kata ‘cita-cita’. Dimulai dari tingkat SD yang sering sekali terdapat pertanyaan mengenai cita-cita, dan saya pun juga sering sekali menjawabnya dengan profesi yang umum saja yaitu Dokter atau Guru. Hingga ke tingkat SMP, cita-cita saya terkadang suka berubah-ubah dari ingin menjadi orang yang sukses, wirausaha, reporter, ataupun penyanyi, meskipun saya hanya menyukai menyanyi tanpa tahu nada-nada yang benar seperti apa. Sampai saya kembali mengakui bahwa
cita-cita saya adalah ingin menjadi seorang Guru.

XXX

Saat itu, masa peralihan antara tingkat SMP menjuju tingkat Sekolah Menengah terdapat sedikit keraguan. Bisakah saya yakin melanjutkannya di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) atau Sekolah Menengah Atas (SMA), dimana semua kakak-kakak saya melanjutkan sekolahnya di SMK dengan bidang akuntansi. Saya juga merasa tertarik dengan akuntansi saat itu, karena prospek kerjanya yang sering dibutuhkan, ditambah kakak-kakak saya yang dapat membantu saya jika ada kesulitan dalam mengerjakan tugas sekolah nantinya (pikir licik saya). Namun, takdir sudah menentukan bahwa saya tidak di terima di SMK melainkan di terima di SMA jurusan IPA.
Hal itu tidaklah buruk, karena saya pun lebih menyukai pelajaran IPA dibandingkan IPS, meskipun hafalan saya juga tidak terlalu buruk. Dari sinilah, tanpa sadar saya sudah mempunyai
bakat terpendam untuk menjadi seorang Guru.
Misalnya, ketika teman-teman di SMA meminta diajarkan oleh saya mengenai pembahasan soal yang mereka anggap sulit, saya pun dengan semangat dan rasa senang hati untuk mengajarkannya ke mereka. Mereka pun memberikan imbalan tiba-tiba dengan mentraktir saya jajan, alhamdulillah uang jajan saya tidak berkurang.

XXX

Waktu demi waktu saya lalui, hingga saya menentukan pilihan saya dengan sungguh-sungguh karena saya sadar sudah waktunya saya bersikap dewasa dan menentukan masa depan saya. Dengan pilihan yang diridhai orang tua disertai dengan usaha dan doa yang saya panjatkan dengan sungguh-sungguh, akhirnya pilihan saya jatuh pada…
Jurusan Pendidikan Kimia Universitas Negeri Jakarta
yang saat itu saya diterima pilihan 1 melalui jalur SBMPTN.
Saya harap, dengan takdir yang ditentukan oleh-Nya ini saya bisa memulainya dengan mencoba melakukan yang terbaik, meskipun tanpa tahu hasil akhirnya nanti apakah saya benar-benar akan menjadi seorang Guru atau hal-hal yang terbaik lain dari-Nya.
Jika takdir membawa saya menjadi seorang Guru, saya ingin menjadi Guru yang tidak hanya menjelaskan materi belajar saja melainkan diselingi sedikit dengan pemberian motivasi kehidupan. Hal ini karena saya ingin membentuk kepribadian baik siswa karena mereka merupakan generasi penerus bangsa. Sehingga, langkah menjadi seorang Guru merupakan kesempatan saya untuk mewujudkan hal tersebut. Sebenarnya, saya turut prihatin dan sedih ketika saya berangkat ke kampus, saya masih melihat siswa-siswa berseragam putih abu-abu yang pada jam pelajaran malah asyik bersama teman-temannya di warung ditemani segelas kopi & sebatang ro*ok. Ditambah lagi masih adanya, siswa-siswa seragam putih abu-abu yang terlibat tawuran ataupun demonstrasi yang menurut saya itu tidak adanya keren-kerennya sama sekali. Salah satu alasan kuat tersebut yang membuat saya bercita-cita menjadi seorang Guru. Alasan lainnya mungkin sudah tergambarkan sebelumnya, dari mulai bakat terpendam dan perasaan senang yang saya miliki ketika mengajarkan teman-teman, mendapatkan ridha dari orang tua, hingga ingin menciptakan generasi penerus bangsa yang membanggakan. Jadi, jika ada yang bertanya kepada saya "Apa Cita-Citamu?", saya tidak akan bertanya kembali ke diri saya "Cita-Cita Saya Apa?" melainkan saya akan menjawabnya dengan "Cita-Cita saya adalah Guru". Iya Guru, bukan Bidadari.

Guru merupakan suri tauladan bagi murid-muridnya.
Guru membuat kita belajar akan banyak hal dari yang tidak kita ketahui sebelumnya.
Guru rela lelah asal murid-muridnya berusaha belajar tuk mencapai impiannya.
Guru pula yang mengenalkan kita tuk membuka jendela dunia.

“Di belahan bumi bagian sana sangat indah, saking indahnya kita harus membutuhkan ilmu untuk melihatnya. Kejarlah cita-citamu setinggi mungkin hingga kau bisa melihat keindahan yang telah diciptakan-Nya untukmu. Semangat berproses!” -Nurul Agustin

Komentar

Postingan Populer